Minggu, 11 Oktober 2009

• Hilangnya Hak Wali

Ayah adalah wali utama dalam pernikahan seorang gadis. Oleh karena itu kehadirannya pada prosesi akad nikah sangat dibutuhkan. Akan tetapi pada saat-saat tertentu justru kehadiran ayah sama dengan ketidakhadirannya. Dan pengecualian ini kurang difahami oleh masyrakat umum. Dengan anggapan bahwa ayah sebagai wali utama sebuah kesalahan fatal terjadi, yaitu ketika ayah sudah tua dan sudah mulai pikun penghulu mendiktenya sighot (kalimat) mewakilkan kepada penghulu agar akad nikah dilakukan oleh penghulu.

Perwakilan ini jelas keliru dan penghulu tidak memiliki hak menikahkan hanya berdasarkan perwakilan tersebut karena ketika kondisi mental ayah sebagai wali telah berubah dan tidak normal maka secara otomatis hak walinya dicabut oleh syariat dan langsung berpindah ke urutan wali setelahnya.

Ada sepuluh hal yang dapat menghilangkan perwalian dari seseorang sehingga perwalian nikah itu jatuh ke tangan urutan selanjutnya dari urutan wali-wali nikah.

Pertama, perbedaan agama antara muslim dan kafir. Seorang kafir tidak bisa menjadi wali nikah putrinya yang muslim dan sebaliknya seorang muslim tidak bisa menjadi wali nikah perempuan kafir walaupun itu putrinya sendiri kecuali hakim (penghulu) terhadap rakyatnya dan seorang pemilik budak terhadap budaknya. Oleh karena itu, hakim muslim boleh menikahkan gadis kafir yang tidak memiliki wali nikah dan seorang muslim yang memiliki budak perempuan yang kafir berhak menikahkan budaknya tersebut.

Kedua, belum akil balig. Seorang anak yang belum mencapai umur akil balig tidak berhak menjadi wali nikah kakak perempuan, sepupu atau bahkan keponakannya. Meskipun ia adalah satu-satunya kerabat laki-laki yang mendapat posisi paling dekat dalam perwalian nikah.

Ketiga, gila. Jika penyakit gila itu permanent maka ia tidak memiliki hak sama sekali untuk menjadi wali nikah dan perwaliannya berpindah ke urutan wali setelahnya. Jika penyakit gila itu terputus-putus dalam arti kadang-kadang sadar dan kadang-kadang gila, maka di saat sadar dia mendapatkan hak walinya sedangkan di saat gila ia kehilangan hak walinya. Dan jika penyakit gila itu sangat jarang sekali seperti sehari dalam setahun maka ia tidak kehilangan hak walinya melainkan akad nikah harus ditunda menunggu sadarnya.

Keempat, fasiq. Fasiq adalah orang yang pernah melakukan dosa besar atau selalu melakukan dosa kecil dan kemaksiatannya lebih banyak dari ketaatannya. Seorang wali fasiq tidak berhak menikahkan anaknya dan perwalian tersebut berpindah ke wali nikah urutan selanjutnya. Namun dalam hal ini Imam Nawawie dan beberapa ulama' lainnya seperti Ibn Sholah, Al-Ghozali dan Ibn Abdussalam berpendapat seorang wali fasiq tidak kehilangan hak walinya jika harus berpindah ke wali lain yang sama-sama fasiq. Dan pendapat ini sangat cocok sekali untuk keadaan di akhir zaman ini di mana kefasiqan sudah sangat merata dan kenyataannya mereka masih menikahkan putrinya.

Kelima, budak. Seorang budak sama sekali tidak memiliki hak wali atas kerabatnya bahkan atas putrinya sendiri, meskipun ia separoh merdeka atau hampir mereka karena cicilan kemerdekannya hampir lunas.

Keenam, bisu. Jika ada orang bisu yang tidak bisa menulis dan tidak bisa menggunakan bahasa isyarat yang bisa difahami oleh orang kebanyakan maka ia tidak berhak menjadi wali karena tidak memiliki alat komunikasi untuk mengakad atau mewakilkan. Jika orang bisu itu bisa menulis atau memiliki isyarat yang memahamkan maka ia tidak kehilangan hak walinya dan ia boleh mengakad sendiri atau mewakilkan dengan tulisan atau isyarat.

Ketujuh, idiot. Artinya: orang yang tidak bisa mengatur urusan dunia dan agamanya. Orang yang sudah idiot sejak kecil tidak berhak menjadi wali nikah karena pembatasan hak dari syariat untuk anak kecil masih terus menempel kepadanya walaupun ia sudah balig. Adapun orang yang balig dalam keadaan normal kemudian menjadi idiot maka tetap memiliki hak wali kecuali jika hak tersebut telah dicabut oleh hakim.

Kedelapan, kerusakan otak. Kerusakan otak yang menyebabkan cara berpikir seseorang menjadi kacau dan tidak normal dapat mencabut hak wali orang tersebut, baik kerusakan itu terjadi karena penyakit, kecelakaan, atau merupakan bawaan sejak lahir termasuk pikun yang terjadi karena penuaan.

Kesembilaan, kekurangan daya pikir. Artinya: lemahnya kerja otak sehingga daya pikirnya lambat dan tidak sempurna. Jika hal ini terjadi maka hak wali orang tersebut berpindah ke urutan wali berikutnya.

Kesepuluh, dungu. Yaitu, orang yang tidak mampu membedakan siapa yang sepadan dengan gadisnya dan siapa yang tidak sepadan. Dalam arti lain ia akan menerima lamaran siapapun yang melamar gadisnya tanpa memedulikan sisi pandang agama, akhlak, keturunan dan pekerjaan. Orang ini tidak berhak menjadi wali nikah karena dapat merugikan gadis yang ia nikahkan dengan sembarang orang.

Urutan para wali nikah, yang pertama adalah ayah kemudian kakek, saudara, keponakan berikut keturunannya, paman, sepupu, pamannya ayah, sepupunya ayah, pamanya kakek, sepupunya kakek dan seterusnya.

Keberadaan wali sangat penting dalam sebuah pernikahan karena Nabi SAW bersabda,

لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل

Tidak sah sebuah pernikahan kecuali dengan seorang wali dan dua saksi adil.

Oleh karena itu pemahaman tentang wali nikah juga tak kalah penting agar tidak terjadi kesalahan dalam pernikahan di sekitar kita. Mudah-mudah Allah menjadikan kita orang-orang yang dikehendaki kebaikannya sehingga dipandaikan oleh Allah dalam bidang agama. Amin…

إذا أراد الله بعبده خيرا يفقهه في الدين. (حديث شريف).

zahid ilham

Wali nikah

Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan kodrat berbeda. Dua jenis makhluk ini saling membutuhkan satu sama lain. Dan yang mempertemukan keduanya adalah pernikahan.

Pernikahan telah merubah hubungan haram antara kedua jenis menjadi halal. Namun dalam pelaksanaannya, kedua jenis manusia ini memiliki ketentuan yang berbeda. Jika laki-laki berhak menikah tanpa perantara maka perempuan tidaklah demikian karena dia harus dinikahkan.

Tatkala seorang laki-laki menyukai wanita dia bisa langsung melakukan akad nikah tanpa harus mendapat persetujuan dari orang tua maupun keluarga. Dan tidak demikian jika seorang wanita menyukai laki-laki, dia tidak boleh melakukan akad nikah sendiri melainkan harus dinikahkan oleh seorang wali.

Pendeknya, seorang perempuan tidak bisa menikahkan dirinya dan tidak bisa menikahkan orang lain baik sebagai wali maupun sebagai wakil dari wali nikah.

Kejadian di beberapa daerah, seorang wanita menikahkan dirinya sendiri dengan mengatakan “Saya nikahkan kamu dengan diri saya dengan maskawin sekian” adalah pernikahan yang tidak sah dan batil.

Akad nikah yang benar ialah jika yang menikahkan mempelai wanita adalah wali nikahnya. Namun dalam pelaksanaannya ada saja yang melakukan kesalahan karena ketidaktahuan mereka siapakah wali nikah itu? Sebagai contoh, sering kita lihat di televisi sebuah pernikahan dimana orang yang menjadi wali nikah adalah penghulu padahal ayah gadis tersebut hadir dan tidak mewakilkan kepada penghulu.

Contoh lain, dua calon mempelai datang kepada kiyai untuk dinikahkan, mereka memilih akad dengan kiyai karena ayah perempuan tersebut tidak setuju dengan hubungan mereka bahkan hendak menikahkan putrinya itu dengan laki-laki lain. Ada pula seorang kakak menggantikan kedudukan ayahnya yang sudah meninggal untuk menjadi wali nikah adik perempuannya padahal kakeknya masih hidup dan memenuhi syarat untuk menjadi wali.

Yang paling riskan dari kekeliruan yang terjadi dalam masyarakat adalah ketika seorang gadis dinikahkan oleh kerabat yang sama sekali tidak memiliki hak perwalian nikah, seperti paman dari ibu, suami bibi, saudara seibu atau kakek dari ibu. Kejadian-kejadian seperti ini bisa dihindari jika kita memiliki pengetahuan dalam hal wali nikah.

Wali nikah adalah laki-laki yang hak warisnya tidak ditentukan jumlahnya oleh syari’at melainkan ia akan mendapat seluruh harta jika tidak ada ahli waris lain atau mendapat sisa dari ahli waris lain. Dalam istilah fiqh disebut ashobah.

Dan mereka secara urut ialah: ayah, kakek (ayahnya ayah), ayahnya kakek dan seterusnya ke atas, saudara laki-laki kandung (seayah seibu), saudara laki-laki seayah, putra saudara laki-laki kandung dan keturunannya, putra saudara laki-laki seayah dan keturunannya, paman (saudara laki-laki ayah) kandung, paman seayah, putra paman kandung dan keturunannya, putra paman seayah dan keturunannya, paman ayah (saudara laki-laki kakek) kandung, paman ayah seayah, putra paman kandung ayah dan keturunannya, putra paman ayah seayah dan keturunannya dan demikian seterusnya sebagaimana urutan ashobah.

Sehingga jika ada wanita yang tidak memiliki kerabat laki-laki kecuali sepupunya lima kali maka ialah yang menjadi wali nikah wanita tersebut. Contoh, seorang gadis bernama misalnya “Siti binti Zaid bin Hamid bin Mahmud bin Ahmad bin Bakar bin Amar” tidak memiliki kerabat laki-laki kecuali “Arif bin Imron bin Komar bin Sa’id bin Sa’ad bin Bakar bin Amar” dan nasab keduanya bertemu di kakek kelima mereka yaitu, Bakar bin Amar. Maka jika Siti hendak menikah, yang menjadi wali nikahnya adalah Arif bin Imron karena ia merupakan putra keturunan dari paman kakeknya Siti dan termasuk ashobah yang menjadi ahli waris Siti.

Selain dari nasab, ashobah juga ada dari wala’ (hubungan mantan budak dengan mantan tuannya) dan tingkatannya berada di bawah nasab. Artinya, jika tidak ada ashobah dari nasab maka yang berhak adalah ashobah dari wala’. Siapakah mereka? Mereka secara urut adalah orang yang telah membebaskan sang mempelai wanita dari perbudakan. Tentunya jika mempelai wanita itu adalah mantan budak.

Jika mu’tiq (orang yang telah membebaskannya) itu telah tiada, yang menjadi wali nikah adalah ashobahnya mu’tiq dari nasab yaitu, putra mu’tiq, ayah, kakek dan seterusnya. Jika sang mu’tiq tidak memiliki ashobah dari nasab maka yang menjadi wali nikah adalah ashobahnya mu’tiq dari wala’ yaitu mu’tiqnya mu’tiq (orang yang memerdekakan mu’tiq) tentunya jika mu’tiq tersebut juga mantan budak dan demikian seterusnya.

Jika mantan tuannya itu adalah seorang wanita (mu’tiqoh) maka yang menjadi wali nikah bukanlah sang mu’tiqoh karena wanita tidak bisa menikahkan, tetapi yang menjadi wali adalah laki-laki yang menjadi wali nikah mu’tiqoh. Kalau mu’tiqoh sudah tiada maka perwalian nikah berpindah kepada ashobahnya mu’tiqoh dari nasab kemudian dari wala’ sebagaimana pembahasan dalam masalah mu’tiq.

Hak menjadi wali nikah adalah untuk ashobah yang paling dekat sebagaimana urutan mereka. Seorang kakak misalnya, tidak berhak menjadi wali jika di situ ada kakek. Begitu pula paman tidak bisa menjadi wali nikah jika di situ ada putra saudara laki-laki. Dan saudara atau paman seayah tidak bisa menjadi wali jika di situ ada saudara atau paman kandung.

Jika wali nikah dari urutan ashobah tidak ada maka yang menjadi wali adalah hakim atau pemerintah setempat. Dalam hal ini adalah penghulu atau siapa saja yang ditentukan oleh departemen agama untuk menikahkan wanita yang tidak memiliki wali. Nabi SAW bersabda:

السُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَه

"Pemerintah adalah wali orang yang tidak memiliki wali."

Dalam masalah waris, anak laki-laki adalah ashobah dalam urutan pertama, sedangkan dalam masalah wali nikah, anak laki-laki tidak memiliki hak sama sekali. Dengan demikian seorang anak laki-laki tidak bisa menjadi wali dalam pernikahan ibunya, kecuali jika anak tersebut memiliki status lain, yaitu jika anak tersebut juga merupakan putra dari sepupu ibunya. Contoh, seorang wanita menikah dengan laki-laki sepupunya sendiri maka anak yang ia lahirkan statusnya adalah putra sepupu yang juga memiliki hak perwalian nikah.

Kedua, jika anak tersebut menjadi seorang penghulu dan ibunya tidak memiliki ashobah baik secara nasab maupun wala’. Ketiga, jika anak tersebut adalah mu’tiq ibunya dan hal itu terjadi apabila seorang anak mendapatkan ibu yang melahirkannya terbelenggu oleh perbudakan kemudian ia membeli ibunya, secara otomatis ibunya langsung merdeka karena seorang ibu tidak bisa menjadi budak anaknya. Setelah itu jika ibu hendak menikah dan tidak memiliki wali nikah dari nasab maka anaknyalah yang menjadi wali nikah karena anak tersebut adalah mu’tiqnya.

Dalam tiga masalah di atas seorang anak bisa menjadi wali nikah ibunya, tetapi bukan dengan statusnya sebagai anak melainkan dengan status lain yang ia miliki.

Wali nikah merupakan satu dari rukun-rukun nikah, tanpanya pernikahan takkan pernah terjadi. Oleh karena itu berhati-hatilah dalam menikahkan perempuan, sebab sedikit kesalahan dapat merubah hubungan pernikahan menjadi hubungan perzinaan, wal iyadzu billah min ghodobillah, mudah-mudahan kita dijauhkan oleh Allah dari kemurkaannya. Amin. Zahid Ilham