Rabu, 25 Februari 2009

WARNA, BAU DAN RASA

Ketika membersihkan baju yang telah dipakai suaminya berperang melawan tentara Israel, wanita Gaza itu mendapat sedikit kesulitan, darah yang mengotori baju itu telah mengering, sulit sekali dihilangkan sehingga hampir saja dia menggunting daerah yang terkena noda darah, kalau tidak dicegah oleh suaminya pasti baju itu telah digunting. Kesulitan dalam menghilangkan noda najis memang sangat menyebalkan terutama jika noda tersebut mengotori baju putih.
Memang banyak wanita kita yang masih awam soal najis, cara membersihkanya, tentang apa saja sifat-sifat najis yang haru dihilangkan, bagaimana jika sifat-sifat tersebut tidak bisa hilang dan apa hukum air bekas mencuci najis. Oleh karena itu alangkah baiknya kalau kita membahas masalah-masalah penting ini agar kita tidak menjadi orang yang was-was maupun orang yang ceroboh wal iyadzu billah min dzalik (mudah-mudahan kita dijauhkan Allah dari hal itu).
Najis dengan berbagai macam jenisnya pasti memiliki bau, warna dan rasa. Ketiga sifat ini merupakan tanda keberadaan benda najis atau dalam istilah fiqhnya disebut sebagai ‘ain (benda) dan selama najis itu memiliki ‘ain maka dia akan menajiskan segala sesuatu yang mengenainya termasuk air. Contoh, Pada sebuah sungai kecil terdapat benda najis berupa bangkai ayam yang tersangkut sehingga tidak ikut mengalir bersama aliran sungai.
Maka air sungai yang melewati najis tersebut menjadi najis sampai bertemu aliran sungai yang lebar dan mencapai dua kullah lebih pada setiap arusnya. Nah itulah yang disebut sebagai najis ‘ainiyah. Dalam membersihkan najis ‘ainiyah ini semua sifat yang menunjukkan ‘ainnya najis harus dihilangkan. Baik itu warna, bau maupun rasa jangan sampai ada satupun yang tersisa.Untuk mengetahui hilang tidaknya rasa najis itu, apakah kita harus mencicipinya?
Memang sifat yang satu ini gampang-gampang susah, kalau warna dapat kita lihat, bau dapat kita cium tanpa harus mengotori anggota tubuh kita. Tetapi dalam mengetahui rasa kita harus menempelkannya ke lidah dan hal yang demikian selain menjijikkan juga tidak boleh dalam syariat karena menajiskan salah satu anggota tubuh tanpa ada alasan yang tepat dan hukumnya haram sebab dia bisa menghilangkannya tanpa harus mencicipinya terlebih dahulu.
Oleh karena itu dalam menghilangkan ‘ainnya najis tidak perlu dicicipi terlebih dahulu melainkan cukup dengan persangkaan bahwa najis tersebut telah hilang dan tidak meninggalkan rasa sebagaimana sudah tidak meninggalkan bau dan warna. Setelah dia menganggap bahwa tempat tersebut telah suci barulah dia boleh mencicipinya kalau memang masih penasaran, jika tidak ada rasa najis berarti benar-benar telah suci tetapi jika masih ada rasanya berarti najis itu belum hilang dan dan tidak dosa baginya di saat mencicipi karena waktu itu dia menyangkanya telah suci.
Setelah semua sifat najis telah hilang maka tempat yang terkotori oleh najis tersebut tidak serta merta dihukumi suci karena sebenarnya di situ masih ada sisa yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan air. Sebersih apapun dia menghapus bau, warna dan rasa najis tanpa menggunakan air maka di tempat yang telah dihinggapi najis tadi masih tersisa bekas. Dan bekas najis itulah yang disebut sebagai najis hukmiyah (secara hukum), karena yang tersisa itu hanyalah hukum najisnya saja.
Cara menghilangkan najis ini cukup dengan mengalirkan air sekali untuk najis mutawasshitho (sedang) dan harus dengan tujuh kali siraman salah satunya dengan tanah untuk najis mugholladloh (berat) sedangkan pada najis mukhoffafah (ringan) cukup mencipratinya dengan air hingga merata. Meskipun pada najis mutawassitho najisnya langsung hilang dengan sekali siraman namun disunnahkan sampai tiga kali siraman.
Ketika warna darah masih menempel di pakaian kita, sedangkan pakaian tersebut adalah pakaian sholat kita, biasanya hal ini dapat menimbulkan keraguan di hati kita apakah sholat kita sah dengan memakai pakaian ini? Padahal kita telah mencuci pakaian tersebut dengan menggunakan deterjen, pemutih dan lain sebagainya. Begitu juga ketika anak kita berak di pangkuan kita dan mengotori pakaian kita, setelah kita cuci ternyata baunya masih menempel padahal kita cuci dengan deterjen wangi tetap saja baunya membandel. Bagaimana hukum pakaian kita ini?
Seperti yang telah kita ketahui bahwa najis memiliki tiga sifat yaitu: warna, bau dan rasa. Ketika di antara ketiga sifat tadi ada yang membandel maka dalam mengupas masalah ini para ulama’ menyebutkan dua masalah yaitu, masalah ta’assur (sulit dihilangkan) dan masalah ta’addzur (tidak bisa dihilangkan). Munculnya dua masalah ini disebabkan sifat yang membandel dari najis itu hanya baunya saja, warnanya saja, rasanya saja atau warna dan bau sekaligus.
Jika pakaian yang ternoda najis tersebut kita cuci dan ternyata hanya warna atau baunya saja yang tidak mau hilang padahal sudah kita kucek dan kita kerik sampai tiga kali, bahkan kita juga telah menggunakan deterjen yang katanya dapat membersihkan noda seperti ini, maka inilah yang dinamakan masalah ta’assur. Dan hukum bau atau warna yang tersisa dalam masalah ini adalah ma’fu alias dimaafkan syariat, tetapi kata Imam Ahmad bin Hajar najis tersebut telah suci.
Jika sifat yang tidak bisa dihilangkan dari najis tersebut setelah mengucek dan mengeriknya tiga kali adalah rasanya saja atau warna dan bau secara bersamaan maka wajib menggunakan deterjen atau apa saja yang menurut para ahli dapat menghilangkan noda seperti ini. Setelah dia memakai deterjen namun noda tersebut tetap saja membandel dan tidak bisa hilang kecuali dengan memotongnya maka hukumnya ma’fu selama tidak ditemukan deterjen baru yang dapat menghilangkan noda tersebut, dan masalah inilah yang disebut sebagai masalah ta’addzur.
Persamaan dua masalah ini adalah dalam membersihkannya sama-sama harus dikucek dan dikerik sampai paling sedikitnya tiga kali kemudian harus dibantu deterjen kalau memang hilangnya hanya dengan deterjen dan wajib baginya berkeliling untuk mencari deterjen tersebut sebagaimana wajib berkeliling mencari air ketika hendak bertayammum. Perbedaan dari dua masalah ini adalah hukum pada masalah ta’assur najis tersebut dinyatakan suci dan pada masalah ta’addzur najis tersebut menjadi ma’fu untuk sementara waktu yaitu selama belum ditemukan alat yang dapat membersihkannya.
Dan kapan saja ditemukan deterjen atau alat-alat baru yang dapat membersihkan noda itu maka najis tersebut tidak lagi ma’fu dan dia wajib menggunakan benda baru tadi untuk membersihkan noda. Alasan perbedaan dua masalah ini adalah karena warna dan bau tidak menunjukkan keberadaan ‘ain secara kuat kecuali jika kedua-duanya ada dalam waktu bersamaan berbeda dengan rasa yang meskipun tersisa sendiri saja namun menunjukkan keberadaan ‘ain secara kuat.
Air sedikit (di bawah dua kullah) bekas dipakai untuk membersihkan najis (air musta’mal) hukumnya suci tetapi tidak mensucikan sebagaimana air musta’mal (bekas) dalam masalah wudlu’. Namun sucinya air musta’mal bekas membersihkan najis ini jika memenuhi beberapa syarat yaitu, tidak berubah sifatnya, tidak bertambah beratnya dan tempat yang disiram benar-benar telah suci.
Jika setelah dipakai menyiram tempat yang terkena najis air tersebut berubah sifatnya atau bertambah beratnya maka air tersebut menjadi najis. Contohnya, air tersebut sebelum disiramkan beratnya 100 gram setelah disiramkan ke tempat najis beratnya menjadi 97 gram padahal perkiraan yang menempel di tempat yang disiram adalah 5 gram dan seharusnya sisanya adalah 95 gram, berarti air tersebut telah bertambah berat 2 gram dan tambahan tersebut adalah dari najis.
Begitu pula jika air musta’mal itu tidak berubah sifatnya dan tidak bertambah beratnya tetapi najis di tempat yang disiram tadi masih ada. Maka air tersebut hukumnya juga najis. Oleh karena itu gambaran yang pas dalam masalah ini hanyalah jika najis itu adalah najis hukmiyah yang sudah tidak memiliki warna, bau dan rasa.
Sekarang wanita Gaza tadi tidak perlu khawatir dengan noda darah yang membandel di pakaian suaminya sebagaimana dia juga tidak perlu khawatir dengan keadaan suaminya ketika berperang membela agama Allah melawan serdadu Israel. Yang perlu ia khawatirkan adalah niat dan tujuan suaminya di saat berperang, apakah murni karena Allah? Demi membela agama Allah? Ataukah karena kepentingan pribadi supaya dikenal sebagai pahlawan, atau kepentingan golongan, organisasi dan semacamnya?
Yang ia ketahui bahwa darah yang mengucur ditubuhnya dalam membela agama Allah nanti di hari kiamat akan beraroma seperti minyak kasturi, namun tidaklah semua orang yang meninggal dalam jihad akan dapat memasuki surga dan mendapat kemulyaan di dalamnya karena ada pula orang yang berjihad tidak ikhlas untuk Allah SWT. Mudah-mudahan kita semua dijadikan hamba-hamba yang memiliki hati yang ikhlas dalam melakukan segala amal perbuatan demi menggapai kedudukan yang tinggi disisi-nya Amin. Zahid Ilham

Selasa, 24 Februari 2009

Najis, siapa takut ?

Suatu saat Nabi duduk bersama sahabat-sahabatnya membentuk sebuah halaqoh, dalam majlis tersebut sebagaimana yang sering beliau lakukan beliau memangku cucu kesayangan beliau yang masih bayi Sayyiduna Hasan bin Ali RA putera dari puteri terkasih beliau Sayyidatuna Fathimah Azzahro’ Albatul RA. Ketika Rasulullah SAW sedang asyik memberi wejangan tiba-tiba Sayyiduna Hasan RA cucu tersayang beliau ngompol.
Maka tak ayal lagi pakaian beliau pun menjadi basah dan beliau sama sekali tidak panik, beliau peras pakaian yang basah terkena kencing kemudian beliau minta diambilkan air, setelah itu beliau percikkan air ke daerah yang basah hingga merata. Beginilah cara Rasulullah SAW mengajari sahabatnya cara membersihkan najis.
Bahkan di saat lain terjadi sesuatu yang membikin gempar para sahabat, yaitu ketika seorang Badui (orang yang tinggal di tengah gurun pasir jauh dari kota) kencing di masjid, para sahabat pun marah dan menghardiknya, tetapi Rasulullah SAW malah mencegah tindakan mereka “Jangan kalian cegah dia (dari kencingnya), tinggalkan dia”. Setelah Badui tadi menuntaskan kencingnya Nabi SAW mendekatinya dan menasihatinya “Masjid-masjid seperti ini bukan tempat untuk kencing atau buang kotoran, melainkan tempat untuk berdzikir, sholat dan membaca Al-qur’an”. Setelah itu Nabi SAW meminta diambilkan setimba air dan Beliau siramkan ke tempat yang terkena kencing.
Dua riwayat di atas merupakan sebuah pelajaran berharga dari Rasulullah SAW dalam mensucikan najis dan sebagaimana kita lihat tadi bahwa cara yang dilakukan Nabi SAW ketika mensucikan kencing bayi dan kencing orang dewasa tidak sama. Kalau untuk mensucikan kencing bayi Beliau cukup memercikkan air hingga merata, namun dalam mensucikan kencing orang dewasa Beliau malah membutuhkan air setimba.
Dari sini ulama’ mengambil kesimpulan bahwa najis itu bermacam-macam. Dan mereka menemukan tiga macam najis yang kesemuanya diambil dari ajaran Rasulullah SAW. Yang pertama adalah najis mugholladloh (berat) yaitu najisnya anjing dan babi. Disebut sebagai najis berat karena cara yang diajarkan Rasulullah SAW dalam mensucikannya lebih berat dari pada najis-najis yang lain.
Setiap bagian dari tubuh anjing dan babi adalah najis mugholladloh dari kotorannya, kencingnya, darah, nanah, keringat, air mata, air liur bahkan kalau kita menyentuh kulitnya dengan tangan basah akan menjadikan tangan kita terkena najis mugholladloh, kecuali jika ada anjing berenang di air yang amat banyak seperti kolam renang, danau atau laut kemudian tangan kita menyentuh bagian tubuh anjing yang berada di dalam air maka tangan kita tidak menjadi najis karena terhalang oleh air. Begitu pula kalau tangan kita kering menyentuh bagian anjing yang kering.
Cara mensucikan najis mugholladloh adalah, membuang benda najisnya terlebih dahulu kemudian menyiramkan air ke seluruh permukaan yang terkena najis tujuh hingga kali siraman dan pada salah satu siraman (yang paling afdhol adalah pada siraman pertama) dicampur dengan tanah. Ada beberapa cara penggunaan tanah untuk mensucikan najis mugholladloh dan yang paling afdhol adalah mencampurkan tanah kedalam air sehingga menjadi keruh baru kemudian menyiramkannya.
Meratakan tanah kering ke permukaan najis terlebih dahulu kemudian menyiramnya dengan air merupakan cara kedua penggunaan tanah tetapi najisnya harus dihilangkan terlebih dahulu dalam arti sudah tidak tersisa bau, rasa dan warnanya dan penggunaan lumpur dan tanah liat basah juga bisa menggantikan tanah biasa yang dicampur dengan air. Syarat menggunakan tanah dalam mensucikan najis mugholladloh adalah apabila tempat yang terkena najis bukan tanah, sebaliknya jika kita hendak mensucikan tanah yang dikencingi anjing misalnya, cukup menyiramkan air tujuh kali tanpa mencampurnya dengan tanah.
Dalil najis mugholladloh adalah sabda Nabi SAW yang berbunyi:
طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وِلَغَ فِيهِ الكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
Untuk mensucikan wadah salah seorang diantara kalian jika dijilat anjing hendaknya menyiramnya tujuh kali dan kali pertamanya dengan memakai tanah.
Dari hadits ini Imam Syafi’I berpendapat bahwa anjing itu najis mugholladloh karena cara mensucikan yang diajarkan Rasulullah SAW dalam hadits tersebut lebih berat dari mensucikan najis-najis yang lain. Adapun keberadaan babi sebagai najis mugholladloh tidak diambil dari alqur’an maupun hadits tetapi diqiyaskan dengan anjing karena babi lebih jorok dari anjing.
Yang kedua adalah najis mukhoffafah (ringan) yaitu kencing bayi laki-laki yang belum berumur dua tahun dan tidak makan kecuali susu. Jika seorang bayi laki-laki yang masih baduta (belum dua tahun) namun makanan pokoknya sudah bukan ASI lagi seperti pisang atau bubur misalnya maka kencingnya tidak lagi disebut najis mukhoffafah. Begitu pula bayi laki-laki yang hanya meminum ASI namun umurnya sudah lebih dari dua tahun. Sedangkan kencing bayi perempuan meskipun baru lahir tadi pagi dan tidak makan kecuali ASI hukumnya tidak diringankan seperti kencing bayi laki-laki.
Perbedaan antara bayi laki-laki dan bayi perempuan adalah karena beberapa alasan yang dibuat oleh para ulama’ setelah mereka mendengarkan perbedaan cara mensucikan kedua kencing tersebut dari Nabi SAW. Di antara alasan-alasan yang dikemukakan adalah, bayi laki-laki lebih banyak dibawa oleh para ortu dari pada bayi perempuan oleh karena itu najis kencingnya lebih diringankan, laki-laki tercipta dari tanah sedangkan perempuan tercipta dari tulang rusuk yang berada di antara daging dan darah, kencing bayi laki-laki yang tidak makan kecuali ASI lebih tipis dan baunya tidak begitu menyengat sedangkan kencing bayi perempuan lebih tebal dan baunya menyengat meskipun tidak makan selain ASI.
Disebut sebagai najis mukhoffafah karena cara mensucikannya sangat mudah dan ringan sekali dibanding dengan najis-najis yang lain. Sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang berbunyi,
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الجَارِيَةِ، وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الغُلاَمِ
Dibasuh dari kencing anak perempuan dan diciprati dari kencing anak laki-laki.
Sangat jelas sekali perbedaan cara mensucikan kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan dalam hadits tersebut. Oleh karena itu para ulama’ membuat beberapa alasan yang tepat mengapa perbedaan itu terjadi.
Cara mensucikan najis mukhoffafah adalah, menghilangkan benda najis terlebih dahulu dengan cara memerasnya (jika yang terkena najis berupa kain) sampai tidak ada lagi cairan yang menetes, setelah itu memercikkan air ke tempat yang masih basah itu hingga merata dan kain tersebut telah suci tanpa menunggu kering.
Yang ketiga adalah najis mutawassitho (sedang) dan ini adalah najis selain mugholladloh dan mukhoffafah. Disebut sebagai najis sedang karena cara mensucikannya tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan, yaitu cukup mengalirkan air satu kali saja ke permukaan tempat yang terkena najis, tentunya setelah menghilangkan benda najisnya terlebih dahulu hingga tidak tersisa bau, warna dan rasanya. Jika dengan satu siraman benda najisnya juga ikut hilang maka tidak perlu menyiramnya lagi karena tempat tersebut telah suci. Sebaliknya jika setelah disiram air ternyata benda najisnya masih ada maka tempat tersebut masih dihukumi najis.Dari uraian di atas kita semakin mengerti bahwa Islam senantiasa menganjurkan kebersihan dan kesucian bagi umatnya, tidak ada agama sedetail ini mengajarkan hal-hal seperti ini, Oleh karena itu pribadi muslim yang sesungguhnya adalah pribadi yang selalu menebar kebersihan dan kesucian dari jiwanya, tapi yang lebih penting lagi adalah kebersihan dan kesucian hati. Karena dengannya jiwa akan dihinggapi aura kelembutan yang mendayu merdu, yang akhirnya bertemu dengan kelembutan sang khalik Allah SWT. Zahid Ilham.

Setelah yang ditunggu-tunggu datang.

Melahirkan seorang anak adalah peristiwa yang membuat kenangan tersendiri pada diri setiap wanita, karena seorang anak adalah buah hati yang mereka idam-idamkan. Meskipun demikian, saat-saat melahirkan adalah saat-saat yang menegangkan karena melahirkan itu sakit dan taruhannya adalah nyawa. Oleh karena itu Allah SWT mewasiatkan dalam Alqur’an agar setiap anak selalu berbakti kepada ibunya,
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri".

Setelah melahirkan biasanya setiap wanita akan kedatangan darah nifas selama empatpuluh sampai enampuluh hari namun ada pula wanita yang tidak mengeluarkan darah nifas kecuali cuma sebentar saja, dan tentunya hal ini sangat berhubungan dengan sholat dan ibadah-ibadah yang lain sehingga setiap wanita harus mengetahui hukum-hukum yang berkaitan agar tidak melakukan kesalahan dalam hubungannya kepada Sang Pencipta Yang Maha Kuasa.
Nifas dalam bahasa arab artinya melahirkan, sedangkan dalam arti syar’i nifas adalah darah yang keluar setelah kosongnya rahim dari janin. Dari pengertian ini kita dapat menyimpulkan dua poin mengenai darah nifas: Pertama, keluarnya setelah kosongnya rahim dari janin walaupun berupa gumpalan daging atau gumpalan darah yang menurut pendapat para bidan bayi gumpalan-gumpalan itu adalah calon manusia.
Seorang wanita mengandung bayi kembar, setelah melahirkan bayi pertama dia mengeluarkan darah selama sepuluh hari kemudian berhenti selama sepuluh hari setelah itu lahir bayi kedua dan keluar darah lagi, nah yang disebut darah nifas adalah darah yang keluar setelah keluarnya bayi kedua, sedangkan darah yang keluar setelah bayi pertama adalah darah haid dan tidak disebut nifas karena keluarnya sebelum kosongnya rahim dari janin.
Adapun darah yang keluar sebelum dan ketika melahirkan atau yang disebut darah tolq maka tidak dinamakan nifas juga tidak disebut haid kecuali jika bersambung dengan haid yang sebelumnya. Kedua, keluarnya darah tersebut sebelum berlalunya limabelas hari dari kosongnya rahim. Adapun darah yang keluar setelah berlalunya limabelas hari dari melahirkan bukanlah darah nifas melainkan darah haid.
Dalil tentang nifas adalah hadits yang diceritakan oleh Ummi Salamah RA, Bahwa para wanita yang mengalami nifas di masa Rasulullah SAW menunggu sampai empatpuluh hari atau empat puluh malam. Masa keluarnya darah nifas cuma sebentar namun paling banyaknya nifas adalah enampuluh hari sedang kebiasaan perempuan dalam nifas sebagaimana diterangkan dalam hadits tadi adalah empatpuluh hari.
Mulai kapankah terhitung masa nifas? Dari beberapa pendapat para ulama’, yang mu’tamad adalah yang mengatakan bahwa hukum nifas dimulai dari keluarnya darah, maka sebelum keluarnya darah seorang perempuan dinyatakan suci dan sah mengerjakan sholat dan puasa. Namun hitungan masa nifas dimulai dari melahirkan tidak menunggu keluarnya darah.
Sebagaimanan kebiasaan darah yang keluar dari rahim seorang wanita, darah nifaspun kadang-kadang keluar dengan terputus-putus seperti perempuan yang dalam nifasnya keluar darah sepuluh hari, bersih sepuluh hari darah lagi sepuluh hari kemudian suci. Hukum pada masa-masa darah dan masa-masa bersih adalah berikut:
Terputusnya darah nifas yang tidak mencapai enampuluh hari (terhitung mulai melahirkan) adalah jika masa bersih itu selama limabelas hari atau lebih maka darah yang datang selanjutnya tidak lagi menjadi darah nifas melainkan darah haid apabila memenuhi syarat-syarat haid. Dan jika masa bersih itu tidak mencapai limabelas hari maka darah kedua yang keluar dan masa bersih sebelumnya adalah nifas.
Sedangkan terputusnya darah nifas yang mencapai enampuluh hari seperti misalnya seorang wanita kedatangan nifas limapuluh delapan hari mulai usai melahirkan setelah itu bersih selama tiga hari kemudian datang lagi darah sampai sepuluh hari, maka darah sepuluh hari ini adalah darah haid dan masa bersih yang cuma tiga hari itu adalah masa suci meskipun tidak mencapai limabelas hari tetapi karena telah melebihi masa paling banyaknya nifas maka darah yang datang setelahnya adalah darah haid.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa wanita hamil juga bisa mengalami haid maka apabila ada seorang wanita hamil melihat sebaimana kebiasaannya darah haid selama lima hari kemudian pada akhir hari kelima dia melahirkan dan darah terus menerus keluar sejak sebelum melahirkan sampai setelah melahirkan maka darah yang sebelum melahirkan adalah darah haid dan darah tolq yang keluar di saat melahirkan juga dihukumi haid karena bersambung dengan haid sebelumnya.
Dan darah yang datang setelah melahirkan adalah darah nifas. Kesimpulannya, tidak ada masa suci antara haid dan nifas, namun kalau masalah ini kita balik dengan kedatangan nifas dulu baru kemudian haid maka hukumnyapun berbeda karena antara nifas dan haid harus ada masa suci walaupun cuma sebentar seperti contoh, wanita yang kedatangan nifas selama enampuluh hari kemudian suci sehari setelah itu kedatangan darah lima hari maka darah yang terakhir adalah darah haid meskipun masa sucinya cuma satu hari.
Setelah begitu lama menanti kedatangan sang buah hati, setelah datang segala kesulitan yang dialami terasa tak berarti, demi dirinya seorang ibu rela menanti dan karena dia pula seorang ibu rela meniti, sebuah jalan di masa depan yang sangat berarti. Namun setiap orang tua harus berhati-hati, karena tanpa pendidikan yang baik seorang buah hati bisa juga mendatangkan sakit hati, ketika digelar sebuah pengadilan ilahi di akherat nanti. zahid

RAMBU-RAMBU DARAH

Dunia dibangun dengan berpondasikan sakit dan derita, anggaplah kamu bisa terbebas dari penyakit apakah kamu mampu selamat dari kematian? Inilah filsafat hidup yang dikemukakan oleh Imam Hasan Al-Bashri, bahwa orang yang hidup di dunia harus mau mematuhi peraturan dunia yang merupakan peraturan alam yang tidak bisa dihindari.
Sebagaimana peraturan alam harus ditaati, maka orang yang bernegara harus mematuhi peraturan negara, dan orang yang beragama juga harus mematuhi peraturan agama. Di antara sekian peraturan agama yang harus ditaati, ada beberapa peraturan yang khusus diberlakukan untuk kaum hawa yaitu, sebelas larangan yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang haid dan nifas.
Yang pertama dan kedua adalah sholat dan thawaf, Dalam hadits yang diriwayat oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim Nabi SAW bersabda,
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Allah SWT tidak menerima sholat salah seorang diantara kalian jika berhadats sehingga dia berwudlu’
Jika Nabi SAW telah melarang orang yang berhadats kecil untuk melakukan sholat apalagi orang yang berhadats besar seperti haid dan nifas. Adapun thawaf, maka thawaf adalah ibadah yang sama dengan sholat dalam syarat-syarat sahnya. Nabi SAW bersabda,
الطَّوَافُ بِمَنْزِلَةِ الصَّلاَةِ إِلاَّ أَنَّ الله قَدْ أَحَلَّ فِيْهِ النُّطْقُ
Thawaf itu berkedudukan sama dengan sholat kecuali sesungguhnya Allah telah menghalalkan di dalamnya bicara
Dan di saat Rasulullah SAW berhaji bersama istri-istrinya di hajjatulwadaa’ Sayyidah A’isyah datang kepada beliau mengadukan menstruasi yang sedang dialaminya, maka Nabipun menjawab,
اصْنَعِيْ مَا يَصْنَعُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ
Lakukan apa yang dilakukan orang haji selain kamu jangan thawaf di ka’bah
Yang ketiga dan keempat adalah memegang dan menyentuh mushaf karena dalam Alqur’an Allah SWT menegaskan,
Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
Yang dimaksud adalah orang-orang yang suci dari hadats kecil dan besar. Jika menyentuh saja diharamkan bagaimana pula dengan membawanya sudah jelas diharamkan pula karena membawa lebih berat dari sekedar menyentuh.
Yang kelima adalah berdiam di masjid atau hanya sekedar mondar mandir di dalamnya, karena Nabi SAW melarang hal yang demikian sebagaimana beliau bersabda,
إِنِّي لاَ أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ لِجُنُبٍ
Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid untuk orang haid dan tidak pula untuk orang junub.
Yang keenam adalah membaca Alqur’an dengan niat tilawah yaitu niat memcari pahala dengan bacaan tersebut karena memang membaca Alqur’an walaupun Cuma sekedar membaca namun mendapat pahala dari Allah SWT. Tentunya dasar keharaman ini adalah larangan langsung dari Nabi SAW yang mensabdakan,
لاَ يَقْرَءُ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئاً مِنَ الْقُرْآنِ
Tidak boleh orang junub dan haid membaca sedikit dari alqur’an.
Syarat-syarat keharaman membaca alqur’an bagi orang yang sedang nifas maupun haid adalah: Pertama, membaca Alqur’an dengan niat tilawah saja atau bersama niat yang lain. Dengan demikian jika bacaan tersebut hanya untuk sekedar berdzikir, mengutarakan dalil di saat ceramah, mengutip cerita-cerita dalam Alqur’an, mengajar anak-anak TPQ atau untuk menjaga diri dari gangguan jin dan setan tanpa dia menyertakan sama sekali niat tilawah dalam tujuan-tujuan tadi, maka hukumnya tidak haram.
Kedua, ayat-ayat Alqur’an itu dia baca dengan melafadzkannya (mengeluarkan suara) yang sekiranya didengar oleh dirinya sendiri. Dengan demikian jika bacaan tersebut dia lakukan di hati tanpa menggerakkan lidah atau dengan menggerakkan lidah tapi tidak keluar suara, maka juga tidak haram hukumnya karena secara bahasa dia tidak disebut sebagai orang yang membaca. Dan ulama’ bersepakat atas diperbolehkannya membaca tasbih, tahlil dan dzikir yang lain.

Yang ketujuh adalah puasa. Wanita yang sedang nifas maupun yang sedang haid haram dan tidak sah melakukan puasa dengan dalil hadits Sayyidah A’isyah RA,
كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
Kami diperintahkan menqodlo’ puasa dan tidak diperintahkan menqodlo’ sholat.
Mereka mendapat perintah dari Nabi SAW untuk menqodlo’ puasa mereka, ini menunjukkan bahwa mereka tidak puasa ketika kedatangan nifas dan haid.
Yang kedelapan adalah cerai. Diharamkan atas suami untuk mencerai istrinya yang sedang nifas atau haid, hal dikarenakan hal itu akan menyusahkan istri dengan panjangnya masa iddah karena masa-masa keluarnya darah masuk hitungan iddah, juga karena Allah SWT telah menegaskan dalam Alqur’an,
Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).
Yang kesembilan adalah lewat di dalam masjid jika takut mengotori masjid. Sebernarnya hal ini tidak diharamkan khusus bagi orang yang sedang nifas maupun haid tetapi diharamkan untuk semua orang yang sedang membawa najis yang ditakkutkan akan mengotori masjid. Jika orang tersebut merasa aman bahwa kotoran yang dibawa tidak akan mengotori masjid maka hukum membawa kotoran tersebut makruh.
Yang kesepuluh adalah bersentuhan atau bersenang-senang dengan bagian antara lutut dan pusar. Para fuqaha bersepakat atas keharaman bersetubuh bagi wanita nifas dan haid karena dalam Alqur’an Allah SWT berfirman,
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Karena banyaknya hadits-hadits yang menerangkan tentang keharaman bersetubuh Imam Syafi’I RA berkata: Barang siapa yang melakukan hal itu berarti telah melakukan dosa besar. Selain bersetubuh haram juga bersentuhan dengan bagian antara lutut dan pusar, ketika Rasulullah SAW ditanya tentang apa halal antara seorang lelaki dengan istrinya Beliau SAW menjawab,
مَا فَوْقَ اْلإِزَارِ
Yang di atas sarung
Yang kesebelas adalah bersuci dengan niat beribadah karena orang yang sedang mengalami nifas selalu mengeluarkan darah dari kemaluannya sedangkan keluarnya sesuatu dari kemaluan itu menimbulkan hadats, jadi bagaimana mungkin seseorang mengangkat hadats sedangkan hadats itu sendiri selalu timbul. Oleh karena itu haram bagi orang nifas maupun haid melakukan wudlu’ ataupun mandi untuk mengangkat hadats besar maupun kecil padahal dia tahu bahwa itu tidak sah karena itu adalah mempermainkan ibadah.
Jika melanggar rambu-rambu lalu-lintas saja kita kena tilang, maka berhati-hatilah dengan surat tilang yang datang dari Allah SWT atas pelanggaran-pelanggaran yang kita lakukan, karena pengadilannya bukan di dunia melainkan di akhirat di hadapan seluruh makhluk yang pernah diciptakan Allah SWT. Kalau kita bisa menghindar dari pantauan polisi-polisi dunia apakah kita mampu menghindar dari pantauan polisi akherat? zahid

Dimaafkan syariat.

“Kenapa engkau buang air timba itu Siti?” “Air ini terkena najis, ada bangkai cicak di dalamnya” “Tapi itu satu-satunya air yang kita punya untuk berwudlu’, apakah engkau mau pergi malam-malam begini ke sumber mengambil air?” Sitipun bingung, karena untuk pergi ke sumber malam-malam dia takut namun bagaimanapun juga dia harus mencari air untuk berwudlu’ sebab dia dan teman tugasnya belum sholat Isya’.
Permasalah seperti yang dihadapi Siti sebenarnya juga pernah kita hadapi, di saat kita membutuhkan air untuk mensucikan diri sehabis buang air di WC umum ternyata air itu kejatuhan bangkai cicak sedangkan kran di WC tersebut macet, mana mungkin kita keluar mencari air lain? Sebagaimana Siti yang mendapat tugas dakwah di daerah yang jauh dari sumber air, sebenarnya masalah ini tidak begitu merepotkan.
Seandainya kita lebih mendalami tentang najis kita tidak perlu panik di saat terjebat di WC umum tadi dan Sitipun tidak perlu membuang air timba satu-satunya yang ia miliki, karena syariat ini diturunkan penuh dengan keringanan, keluwesan dan toleransi dimana pada saat-saat tertentu hukum-hukum agama dapat berubah dari berat menjadi ringan sehingga tidak alasan bagi seorang muslim untuk keberatan dalam melaksanakan agamanya.
Dalam masalah najis ada istilah ma’fu (dima’afkan) yang artinya, benda-benda yang tadinya menajiskan dan dapat mencegah sahnya sholat, dalam keadaan tertentu tidak menajiskan dan tidak mencegah sahnya sholat. Sehingga meskipun ketika sholat benda tersebut menempel pada tubuh atau pakaian, kita tidak perlu keluar dari sholat karena sholat kita sah.
Dan najis-najis yang ma’fu biasanya berada di bawah qa’idah (prinsip) “Semua benda najis yang sulit untuk dihindari dima’afkan oleh syari’at”. Dari qa’idah ini muncul bermacam-macam gambaran tentang najis ma’fu yang kadang-kadang terjadi dalam keseharian kita. Oleh karena itu kalau kita kembali ke masa lalu kita akan mendapatkan para salaf (pendahulu) atau orang-orang di zaman para sahabat dan tabi’in terlihat seakan-akan kurang peduli terhadap najis padahal sebenarnya tidak demikian.
Mereka terlalu disibukkan dengan najis-najis batin yang mereka takutkan dapat mengotori hati mereka. Sedangkan terhadap najis dhohir mereka tidak terlalu ambil pusing karena mereka adalah orang-orang ’alim (menguasai ilmu agama) yang mengerti batas-batas yang dima’afkan syari’at dan yang tidak dima’afkan syari’at. Berbeda dengan kita yang terlalu was-was terhadap najis dhohir sedangkan najis batin yang telah menghitamkan hati kita tidak kita perdulikan.
Diantara benda-benda najis yang dima’afkan syari’at adalah najis yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa seperti najis yang menempel pada kaki lalat ketika hinggap di kotoran-kotoran yang najis kemudian dia hinggap di baju maupun air, maka baju dan air itu tentunya mutanajjis (terkena najis) namun dima’afkan syari’at karena najis tersebut tidak tampak oleh mata.
Hewan yang tidak memiliki darah mengalir ditubuhnya seperti lalat, kumbang, kalajengking, cicak, kutu bahkan nyamuk yang menyedot darah sekalipun jika hinggap di air kemudian mati di dalam air maka bangkainya tidak menajiskan air tersebut karena bangkai tersebut ma’fu dengan catatan bangkai tersebut tidak ditaruh oleh manusia dan tidak merubah sifat air. Adapun bangkai yang ditaruh oleh manusia atau merubah sifat air maka tidak ma’fu dan tetap menajiskan air.
Bangkai hewan yang tak berdarah hanya ma’fu pada air saja tidak pada baju di saat sholat. Jika seusai sholat dia melihat ada bangkai lalat di balik bajunya atau di sakunya maka sholat yang dia lakukan tadi tidak sah. Jika ketika dia masih dalam keadaan sholat tiba-tiba kejatuhan bangkai cicak maka dia harus segera menyingkirkan bangkai tersebut dengan tanpa mengangkatnya, karena jika dia terlambat menyingkirkannya atau dia singkirkan dengan mengangkat maka sholatnya batal.
Hal-hal yang dima’afkan di saat sholat adalah darah dan nanah dari jerawat, bisul, luka, darah nyamuk, kutu, darah dari tempat cantok (pengobatan dengan cara mengeluarkan darah dari kepala bagian belakang), darah istihadloh, kencingnya kelelawar, air seni orang beser, kotoran lalat dan cairan busuk yang keluar dari luka atau kulit yang melepuh karena terkena panas atau lecet, semuanya itu ma’fu di dalam sholat baik sedikit maupun banyak.
Kecuali jika dia menjadikan baju yang terkena darah tersebut sebagai sajadah atau membawanya dalam sholat tanpa ada keperluan maka yang ma’fu hanya sedikitnya saja sebagaimana dima’afkan dari sedikit darah orang lain selain anjing dan babi. Jika di dalam sholat dia memencet jerawat atau bisul, atau menepuk nyamuk yang hinggap di badannya maka tidak ma’fu kecuali dari sedikitnya darah dan sama sekali tidak ma’fu dari kulit atau bangkai nyamuk tersebut.
Kalau kita berjalan-jalan melewati kandang sapi dengan kaki basah maka otomatis kaki kita akan terkena debu dari tanah di kandang tadi padahal tanah tersebut telah bercampur dengan kotoran sapi, namun kita tidak perlu khawatir kaki kita menjadi najis karena debu sirjin (kotoran hewan yang rata dengan tanah) hukumnya ma’fu jika terkena sedikit.
Sedikit dari bulu najis (bulu hewan yang tidak bisa dimakan) dan sedikit dari asap najis (asap yang timbul dari pembakaran benda najis) juga ma’fu asalkan tidak berasal dari najis mugholladloh (najisnya anjing dan babi). Hukum ma’fu yang didapatkan seorang penunggang keledai atau hewan lain yang tidak bisa dimakan lebih banyak dari yang bukan seorang penunggang, karena sangatlah sulit bagi seorang penunggang untuk menjauhkan diri dari bulu-bulu tersebut, oleh karena itu ma’fu baginya sedikit maupun banyaknya bulu yang menempel.
Jika pada najis dhohir kita menemukan hukum ma’fu, apakah pada najis batin kita juga ada istilah ma’fu? Najis batin yang berupa kotoran-kotoran hati seperti dendam, iri dengki, sombong dan bangga diri tidak ada yang dimaafkan sama sekali. Oleh karena itu dalam mensucikannya haruslah maksimal disertai dengan do’a dan semangat yang tinggi. Setelah kita berusaha sekuat tenaga untuk membersihkan diri dari najis-najis batin barulah kita memohon dan berharap agar kotoran-kotoran yang masih menempel di hati kita dima’afkan dan dibersihkan oleh Allah SWT. Zahid Ilham