Selasa, 24 Februari 2009

Dimaafkan syariat.

“Kenapa engkau buang air timba itu Siti?” “Air ini terkena najis, ada bangkai cicak di dalamnya” “Tapi itu satu-satunya air yang kita punya untuk berwudlu’, apakah engkau mau pergi malam-malam begini ke sumber mengambil air?” Sitipun bingung, karena untuk pergi ke sumber malam-malam dia takut namun bagaimanapun juga dia harus mencari air untuk berwudlu’ sebab dia dan teman tugasnya belum sholat Isya’.
Permasalah seperti yang dihadapi Siti sebenarnya juga pernah kita hadapi, di saat kita membutuhkan air untuk mensucikan diri sehabis buang air di WC umum ternyata air itu kejatuhan bangkai cicak sedangkan kran di WC tersebut macet, mana mungkin kita keluar mencari air lain? Sebagaimana Siti yang mendapat tugas dakwah di daerah yang jauh dari sumber air, sebenarnya masalah ini tidak begitu merepotkan.
Seandainya kita lebih mendalami tentang najis kita tidak perlu panik di saat terjebat di WC umum tadi dan Sitipun tidak perlu membuang air timba satu-satunya yang ia miliki, karena syariat ini diturunkan penuh dengan keringanan, keluwesan dan toleransi dimana pada saat-saat tertentu hukum-hukum agama dapat berubah dari berat menjadi ringan sehingga tidak alasan bagi seorang muslim untuk keberatan dalam melaksanakan agamanya.
Dalam masalah najis ada istilah ma’fu (dima’afkan) yang artinya, benda-benda yang tadinya menajiskan dan dapat mencegah sahnya sholat, dalam keadaan tertentu tidak menajiskan dan tidak mencegah sahnya sholat. Sehingga meskipun ketika sholat benda tersebut menempel pada tubuh atau pakaian, kita tidak perlu keluar dari sholat karena sholat kita sah.
Dan najis-najis yang ma’fu biasanya berada di bawah qa’idah (prinsip) “Semua benda najis yang sulit untuk dihindari dima’afkan oleh syari’at”. Dari qa’idah ini muncul bermacam-macam gambaran tentang najis ma’fu yang kadang-kadang terjadi dalam keseharian kita. Oleh karena itu kalau kita kembali ke masa lalu kita akan mendapatkan para salaf (pendahulu) atau orang-orang di zaman para sahabat dan tabi’in terlihat seakan-akan kurang peduli terhadap najis padahal sebenarnya tidak demikian.
Mereka terlalu disibukkan dengan najis-najis batin yang mereka takutkan dapat mengotori hati mereka. Sedangkan terhadap najis dhohir mereka tidak terlalu ambil pusing karena mereka adalah orang-orang ’alim (menguasai ilmu agama) yang mengerti batas-batas yang dima’afkan syari’at dan yang tidak dima’afkan syari’at. Berbeda dengan kita yang terlalu was-was terhadap najis dhohir sedangkan najis batin yang telah menghitamkan hati kita tidak kita perdulikan.
Diantara benda-benda najis yang dima’afkan syari’at adalah najis yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa seperti najis yang menempel pada kaki lalat ketika hinggap di kotoran-kotoran yang najis kemudian dia hinggap di baju maupun air, maka baju dan air itu tentunya mutanajjis (terkena najis) namun dima’afkan syari’at karena najis tersebut tidak tampak oleh mata.
Hewan yang tidak memiliki darah mengalir ditubuhnya seperti lalat, kumbang, kalajengking, cicak, kutu bahkan nyamuk yang menyedot darah sekalipun jika hinggap di air kemudian mati di dalam air maka bangkainya tidak menajiskan air tersebut karena bangkai tersebut ma’fu dengan catatan bangkai tersebut tidak ditaruh oleh manusia dan tidak merubah sifat air. Adapun bangkai yang ditaruh oleh manusia atau merubah sifat air maka tidak ma’fu dan tetap menajiskan air.
Bangkai hewan yang tak berdarah hanya ma’fu pada air saja tidak pada baju di saat sholat. Jika seusai sholat dia melihat ada bangkai lalat di balik bajunya atau di sakunya maka sholat yang dia lakukan tadi tidak sah. Jika ketika dia masih dalam keadaan sholat tiba-tiba kejatuhan bangkai cicak maka dia harus segera menyingkirkan bangkai tersebut dengan tanpa mengangkatnya, karena jika dia terlambat menyingkirkannya atau dia singkirkan dengan mengangkat maka sholatnya batal.
Hal-hal yang dima’afkan di saat sholat adalah darah dan nanah dari jerawat, bisul, luka, darah nyamuk, kutu, darah dari tempat cantok (pengobatan dengan cara mengeluarkan darah dari kepala bagian belakang), darah istihadloh, kencingnya kelelawar, air seni orang beser, kotoran lalat dan cairan busuk yang keluar dari luka atau kulit yang melepuh karena terkena panas atau lecet, semuanya itu ma’fu di dalam sholat baik sedikit maupun banyak.
Kecuali jika dia menjadikan baju yang terkena darah tersebut sebagai sajadah atau membawanya dalam sholat tanpa ada keperluan maka yang ma’fu hanya sedikitnya saja sebagaimana dima’afkan dari sedikit darah orang lain selain anjing dan babi. Jika di dalam sholat dia memencet jerawat atau bisul, atau menepuk nyamuk yang hinggap di badannya maka tidak ma’fu kecuali dari sedikitnya darah dan sama sekali tidak ma’fu dari kulit atau bangkai nyamuk tersebut.
Kalau kita berjalan-jalan melewati kandang sapi dengan kaki basah maka otomatis kaki kita akan terkena debu dari tanah di kandang tadi padahal tanah tersebut telah bercampur dengan kotoran sapi, namun kita tidak perlu khawatir kaki kita menjadi najis karena debu sirjin (kotoran hewan yang rata dengan tanah) hukumnya ma’fu jika terkena sedikit.
Sedikit dari bulu najis (bulu hewan yang tidak bisa dimakan) dan sedikit dari asap najis (asap yang timbul dari pembakaran benda najis) juga ma’fu asalkan tidak berasal dari najis mugholladloh (najisnya anjing dan babi). Hukum ma’fu yang didapatkan seorang penunggang keledai atau hewan lain yang tidak bisa dimakan lebih banyak dari yang bukan seorang penunggang, karena sangatlah sulit bagi seorang penunggang untuk menjauhkan diri dari bulu-bulu tersebut, oleh karena itu ma’fu baginya sedikit maupun banyaknya bulu yang menempel.
Jika pada najis dhohir kita menemukan hukum ma’fu, apakah pada najis batin kita juga ada istilah ma’fu? Najis batin yang berupa kotoran-kotoran hati seperti dendam, iri dengki, sombong dan bangga diri tidak ada yang dimaafkan sama sekali. Oleh karena itu dalam mensucikannya haruslah maksimal disertai dengan do’a dan semangat yang tinggi. Setelah kita berusaha sekuat tenaga untuk membersihkan diri dari najis-najis batin barulah kita memohon dan berharap agar kotoran-kotoran yang masih menempel di hati kita dima’afkan dan dibersihkan oleh Allah SWT. Zahid Ilham

Tidak ada komentar: