Rabu, 25 Februari 2009

WARNA, BAU DAN RASA

Ketika membersihkan baju yang telah dipakai suaminya berperang melawan tentara Israel, wanita Gaza itu mendapat sedikit kesulitan, darah yang mengotori baju itu telah mengering, sulit sekali dihilangkan sehingga hampir saja dia menggunting daerah yang terkena noda darah, kalau tidak dicegah oleh suaminya pasti baju itu telah digunting. Kesulitan dalam menghilangkan noda najis memang sangat menyebalkan terutama jika noda tersebut mengotori baju putih.
Memang banyak wanita kita yang masih awam soal najis, cara membersihkanya, tentang apa saja sifat-sifat najis yang haru dihilangkan, bagaimana jika sifat-sifat tersebut tidak bisa hilang dan apa hukum air bekas mencuci najis. Oleh karena itu alangkah baiknya kalau kita membahas masalah-masalah penting ini agar kita tidak menjadi orang yang was-was maupun orang yang ceroboh wal iyadzu billah min dzalik (mudah-mudahan kita dijauhkan Allah dari hal itu).
Najis dengan berbagai macam jenisnya pasti memiliki bau, warna dan rasa. Ketiga sifat ini merupakan tanda keberadaan benda najis atau dalam istilah fiqhnya disebut sebagai ‘ain (benda) dan selama najis itu memiliki ‘ain maka dia akan menajiskan segala sesuatu yang mengenainya termasuk air. Contoh, Pada sebuah sungai kecil terdapat benda najis berupa bangkai ayam yang tersangkut sehingga tidak ikut mengalir bersama aliran sungai.
Maka air sungai yang melewati najis tersebut menjadi najis sampai bertemu aliran sungai yang lebar dan mencapai dua kullah lebih pada setiap arusnya. Nah itulah yang disebut sebagai najis ‘ainiyah. Dalam membersihkan najis ‘ainiyah ini semua sifat yang menunjukkan ‘ainnya najis harus dihilangkan. Baik itu warna, bau maupun rasa jangan sampai ada satupun yang tersisa.Untuk mengetahui hilang tidaknya rasa najis itu, apakah kita harus mencicipinya?
Memang sifat yang satu ini gampang-gampang susah, kalau warna dapat kita lihat, bau dapat kita cium tanpa harus mengotori anggota tubuh kita. Tetapi dalam mengetahui rasa kita harus menempelkannya ke lidah dan hal yang demikian selain menjijikkan juga tidak boleh dalam syariat karena menajiskan salah satu anggota tubuh tanpa ada alasan yang tepat dan hukumnya haram sebab dia bisa menghilangkannya tanpa harus mencicipinya terlebih dahulu.
Oleh karena itu dalam menghilangkan ‘ainnya najis tidak perlu dicicipi terlebih dahulu melainkan cukup dengan persangkaan bahwa najis tersebut telah hilang dan tidak meninggalkan rasa sebagaimana sudah tidak meninggalkan bau dan warna. Setelah dia menganggap bahwa tempat tersebut telah suci barulah dia boleh mencicipinya kalau memang masih penasaran, jika tidak ada rasa najis berarti benar-benar telah suci tetapi jika masih ada rasanya berarti najis itu belum hilang dan dan tidak dosa baginya di saat mencicipi karena waktu itu dia menyangkanya telah suci.
Setelah semua sifat najis telah hilang maka tempat yang terkotori oleh najis tersebut tidak serta merta dihukumi suci karena sebenarnya di situ masih ada sisa yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan air. Sebersih apapun dia menghapus bau, warna dan rasa najis tanpa menggunakan air maka di tempat yang telah dihinggapi najis tadi masih tersisa bekas. Dan bekas najis itulah yang disebut sebagai najis hukmiyah (secara hukum), karena yang tersisa itu hanyalah hukum najisnya saja.
Cara menghilangkan najis ini cukup dengan mengalirkan air sekali untuk najis mutawasshitho (sedang) dan harus dengan tujuh kali siraman salah satunya dengan tanah untuk najis mugholladloh (berat) sedangkan pada najis mukhoffafah (ringan) cukup mencipratinya dengan air hingga merata. Meskipun pada najis mutawassitho najisnya langsung hilang dengan sekali siraman namun disunnahkan sampai tiga kali siraman.
Ketika warna darah masih menempel di pakaian kita, sedangkan pakaian tersebut adalah pakaian sholat kita, biasanya hal ini dapat menimbulkan keraguan di hati kita apakah sholat kita sah dengan memakai pakaian ini? Padahal kita telah mencuci pakaian tersebut dengan menggunakan deterjen, pemutih dan lain sebagainya. Begitu juga ketika anak kita berak di pangkuan kita dan mengotori pakaian kita, setelah kita cuci ternyata baunya masih menempel padahal kita cuci dengan deterjen wangi tetap saja baunya membandel. Bagaimana hukum pakaian kita ini?
Seperti yang telah kita ketahui bahwa najis memiliki tiga sifat yaitu: warna, bau dan rasa. Ketika di antara ketiga sifat tadi ada yang membandel maka dalam mengupas masalah ini para ulama’ menyebutkan dua masalah yaitu, masalah ta’assur (sulit dihilangkan) dan masalah ta’addzur (tidak bisa dihilangkan). Munculnya dua masalah ini disebabkan sifat yang membandel dari najis itu hanya baunya saja, warnanya saja, rasanya saja atau warna dan bau sekaligus.
Jika pakaian yang ternoda najis tersebut kita cuci dan ternyata hanya warna atau baunya saja yang tidak mau hilang padahal sudah kita kucek dan kita kerik sampai tiga kali, bahkan kita juga telah menggunakan deterjen yang katanya dapat membersihkan noda seperti ini, maka inilah yang dinamakan masalah ta’assur. Dan hukum bau atau warna yang tersisa dalam masalah ini adalah ma’fu alias dimaafkan syariat, tetapi kata Imam Ahmad bin Hajar najis tersebut telah suci.
Jika sifat yang tidak bisa dihilangkan dari najis tersebut setelah mengucek dan mengeriknya tiga kali adalah rasanya saja atau warna dan bau secara bersamaan maka wajib menggunakan deterjen atau apa saja yang menurut para ahli dapat menghilangkan noda seperti ini. Setelah dia memakai deterjen namun noda tersebut tetap saja membandel dan tidak bisa hilang kecuali dengan memotongnya maka hukumnya ma’fu selama tidak ditemukan deterjen baru yang dapat menghilangkan noda tersebut, dan masalah inilah yang disebut sebagai masalah ta’addzur.
Persamaan dua masalah ini adalah dalam membersihkannya sama-sama harus dikucek dan dikerik sampai paling sedikitnya tiga kali kemudian harus dibantu deterjen kalau memang hilangnya hanya dengan deterjen dan wajib baginya berkeliling untuk mencari deterjen tersebut sebagaimana wajib berkeliling mencari air ketika hendak bertayammum. Perbedaan dari dua masalah ini adalah hukum pada masalah ta’assur najis tersebut dinyatakan suci dan pada masalah ta’addzur najis tersebut menjadi ma’fu untuk sementara waktu yaitu selama belum ditemukan alat yang dapat membersihkannya.
Dan kapan saja ditemukan deterjen atau alat-alat baru yang dapat membersihkan noda itu maka najis tersebut tidak lagi ma’fu dan dia wajib menggunakan benda baru tadi untuk membersihkan noda. Alasan perbedaan dua masalah ini adalah karena warna dan bau tidak menunjukkan keberadaan ‘ain secara kuat kecuali jika kedua-duanya ada dalam waktu bersamaan berbeda dengan rasa yang meskipun tersisa sendiri saja namun menunjukkan keberadaan ‘ain secara kuat.
Air sedikit (di bawah dua kullah) bekas dipakai untuk membersihkan najis (air musta’mal) hukumnya suci tetapi tidak mensucikan sebagaimana air musta’mal (bekas) dalam masalah wudlu’. Namun sucinya air musta’mal bekas membersihkan najis ini jika memenuhi beberapa syarat yaitu, tidak berubah sifatnya, tidak bertambah beratnya dan tempat yang disiram benar-benar telah suci.
Jika setelah dipakai menyiram tempat yang terkena najis air tersebut berubah sifatnya atau bertambah beratnya maka air tersebut menjadi najis. Contohnya, air tersebut sebelum disiramkan beratnya 100 gram setelah disiramkan ke tempat najis beratnya menjadi 97 gram padahal perkiraan yang menempel di tempat yang disiram adalah 5 gram dan seharusnya sisanya adalah 95 gram, berarti air tersebut telah bertambah berat 2 gram dan tambahan tersebut adalah dari najis.
Begitu pula jika air musta’mal itu tidak berubah sifatnya dan tidak bertambah beratnya tetapi najis di tempat yang disiram tadi masih ada. Maka air tersebut hukumnya juga najis. Oleh karena itu gambaran yang pas dalam masalah ini hanyalah jika najis itu adalah najis hukmiyah yang sudah tidak memiliki warna, bau dan rasa.
Sekarang wanita Gaza tadi tidak perlu khawatir dengan noda darah yang membandel di pakaian suaminya sebagaimana dia juga tidak perlu khawatir dengan keadaan suaminya ketika berperang membela agama Allah melawan serdadu Israel. Yang perlu ia khawatirkan adalah niat dan tujuan suaminya di saat berperang, apakah murni karena Allah? Demi membela agama Allah? Ataukah karena kepentingan pribadi supaya dikenal sebagai pahlawan, atau kepentingan golongan, organisasi dan semacamnya?
Yang ia ketahui bahwa darah yang mengucur ditubuhnya dalam membela agama Allah nanti di hari kiamat akan beraroma seperti minyak kasturi, namun tidaklah semua orang yang meninggal dalam jihad akan dapat memasuki surga dan mendapat kemulyaan di dalamnya karena ada pula orang yang berjihad tidak ikhlas untuk Allah SWT. Mudah-mudahan kita semua dijadikan hamba-hamba yang memiliki hati yang ikhlas dalam melakukan segala amal perbuatan demi menggapai kedudukan yang tinggi disisi-nya Amin. Zahid Ilham

Tidak ada komentar: