Selasa, 24 Februari 2009

Najis, siapa takut ?

Suatu saat Nabi duduk bersama sahabat-sahabatnya membentuk sebuah halaqoh, dalam majlis tersebut sebagaimana yang sering beliau lakukan beliau memangku cucu kesayangan beliau yang masih bayi Sayyiduna Hasan bin Ali RA putera dari puteri terkasih beliau Sayyidatuna Fathimah Azzahro’ Albatul RA. Ketika Rasulullah SAW sedang asyik memberi wejangan tiba-tiba Sayyiduna Hasan RA cucu tersayang beliau ngompol.
Maka tak ayal lagi pakaian beliau pun menjadi basah dan beliau sama sekali tidak panik, beliau peras pakaian yang basah terkena kencing kemudian beliau minta diambilkan air, setelah itu beliau percikkan air ke daerah yang basah hingga merata. Beginilah cara Rasulullah SAW mengajari sahabatnya cara membersihkan najis.
Bahkan di saat lain terjadi sesuatu yang membikin gempar para sahabat, yaitu ketika seorang Badui (orang yang tinggal di tengah gurun pasir jauh dari kota) kencing di masjid, para sahabat pun marah dan menghardiknya, tetapi Rasulullah SAW malah mencegah tindakan mereka “Jangan kalian cegah dia (dari kencingnya), tinggalkan dia”. Setelah Badui tadi menuntaskan kencingnya Nabi SAW mendekatinya dan menasihatinya “Masjid-masjid seperti ini bukan tempat untuk kencing atau buang kotoran, melainkan tempat untuk berdzikir, sholat dan membaca Al-qur’an”. Setelah itu Nabi SAW meminta diambilkan setimba air dan Beliau siramkan ke tempat yang terkena kencing.
Dua riwayat di atas merupakan sebuah pelajaran berharga dari Rasulullah SAW dalam mensucikan najis dan sebagaimana kita lihat tadi bahwa cara yang dilakukan Nabi SAW ketika mensucikan kencing bayi dan kencing orang dewasa tidak sama. Kalau untuk mensucikan kencing bayi Beliau cukup memercikkan air hingga merata, namun dalam mensucikan kencing orang dewasa Beliau malah membutuhkan air setimba.
Dari sini ulama’ mengambil kesimpulan bahwa najis itu bermacam-macam. Dan mereka menemukan tiga macam najis yang kesemuanya diambil dari ajaran Rasulullah SAW. Yang pertama adalah najis mugholladloh (berat) yaitu najisnya anjing dan babi. Disebut sebagai najis berat karena cara yang diajarkan Rasulullah SAW dalam mensucikannya lebih berat dari pada najis-najis yang lain.
Setiap bagian dari tubuh anjing dan babi adalah najis mugholladloh dari kotorannya, kencingnya, darah, nanah, keringat, air mata, air liur bahkan kalau kita menyentuh kulitnya dengan tangan basah akan menjadikan tangan kita terkena najis mugholladloh, kecuali jika ada anjing berenang di air yang amat banyak seperti kolam renang, danau atau laut kemudian tangan kita menyentuh bagian tubuh anjing yang berada di dalam air maka tangan kita tidak menjadi najis karena terhalang oleh air. Begitu pula kalau tangan kita kering menyentuh bagian anjing yang kering.
Cara mensucikan najis mugholladloh adalah, membuang benda najisnya terlebih dahulu kemudian menyiramkan air ke seluruh permukaan yang terkena najis tujuh hingga kali siraman dan pada salah satu siraman (yang paling afdhol adalah pada siraman pertama) dicampur dengan tanah. Ada beberapa cara penggunaan tanah untuk mensucikan najis mugholladloh dan yang paling afdhol adalah mencampurkan tanah kedalam air sehingga menjadi keruh baru kemudian menyiramkannya.
Meratakan tanah kering ke permukaan najis terlebih dahulu kemudian menyiramnya dengan air merupakan cara kedua penggunaan tanah tetapi najisnya harus dihilangkan terlebih dahulu dalam arti sudah tidak tersisa bau, rasa dan warnanya dan penggunaan lumpur dan tanah liat basah juga bisa menggantikan tanah biasa yang dicampur dengan air. Syarat menggunakan tanah dalam mensucikan najis mugholladloh adalah apabila tempat yang terkena najis bukan tanah, sebaliknya jika kita hendak mensucikan tanah yang dikencingi anjing misalnya, cukup menyiramkan air tujuh kali tanpa mencampurnya dengan tanah.
Dalil najis mugholladloh adalah sabda Nabi SAW yang berbunyi:
طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وِلَغَ فِيهِ الكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
Untuk mensucikan wadah salah seorang diantara kalian jika dijilat anjing hendaknya menyiramnya tujuh kali dan kali pertamanya dengan memakai tanah.
Dari hadits ini Imam Syafi’I berpendapat bahwa anjing itu najis mugholladloh karena cara mensucikan yang diajarkan Rasulullah SAW dalam hadits tersebut lebih berat dari mensucikan najis-najis yang lain. Adapun keberadaan babi sebagai najis mugholladloh tidak diambil dari alqur’an maupun hadits tetapi diqiyaskan dengan anjing karena babi lebih jorok dari anjing.
Yang kedua adalah najis mukhoffafah (ringan) yaitu kencing bayi laki-laki yang belum berumur dua tahun dan tidak makan kecuali susu. Jika seorang bayi laki-laki yang masih baduta (belum dua tahun) namun makanan pokoknya sudah bukan ASI lagi seperti pisang atau bubur misalnya maka kencingnya tidak lagi disebut najis mukhoffafah. Begitu pula bayi laki-laki yang hanya meminum ASI namun umurnya sudah lebih dari dua tahun. Sedangkan kencing bayi perempuan meskipun baru lahir tadi pagi dan tidak makan kecuali ASI hukumnya tidak diringankan seperti kencing bayi laki-laki.
Perbedaan antara bayi laki-laki dan bayi perempuan adalah karena beberapa alasan yang dibuat oleh para ulama’ setelah mereka mendengarkan perbedaan cara mensucikan kedua kencing tersebut dari Nabi SAW. Di antara alasan-alasan yang dikemukakan adalah, bayi laki-laki lebih banyak dibawa oleh para ortu dari pada bayi perempuan oleh karena itu najis kencingnya lebih diringankan, laki-laki tercipta dari tanah sedangkan perempuan tercipta dari tulang rusuk yang berada di antara daging dan darah, kencing bayi laki-laki yang tidak makan kecuali ASI lebih tipis dan baunya tidak begitu menyengat sedangkan kencing bayi perempuan lebih tebal dan baunya menyengat meskipun tidak makan selain ASI.
Disebut sebagai najis mukhoffafah karena cara mensucikannya sangat mudah dan ringan sekali dibanding dengan najis-najis yang lain. Sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang berbunyi,
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الجَارِيَةِ، وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الغُلاَمِ
Dibasuh dari kencing anak perempuan dan diciprati dari kencing anak laki-laki.
Sangat jelas sekali perbedaan cara mensucikan kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan dalam hadits tersebut. Oleh karena itu para ulama’ membuat beberapa alasan yang tepat mengapa perbedaan itu terjadi.
Cara mensucikan najis mukhoffafah adalah, menghilangkan benda najis terlebih dahulu dengan cara memerasnya (jika yang terkena najis berupa kain) sampai tidak ada lagi cairan yang menetes, setelah itu memercikkan air ke tempat yang masih basah itu hingga merata dan kain tersebut telah suci tanpa menunggu kering.
Yang ketiga adalah najis mutawassitho (sedang) dan ini adalah najis selain mugholladloh dan mukhoffafah. Disebut sebagai najis sedang karena cara mensucikannya tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan, yaitu cukup mengalirkan air satu kali saja ke permukaan tempat yang terkena najis, tentunya setelah menghilangkan benda najisnya terlebih dahulu hingga tidak tersisa bau, warna dan rasanya. Jika dengan satu siraman benda najisnya juga ikut hilang maka tidak perlu menyiramnya lagi karena tempat tersebut telah suci. Sebaliknya jika setelah disiram air ternyata benda najisnya masih ada maka tempat tersebut masih dihukumi najis.Dari uraian di atas kita semakin mengerti bahwa Islam senantiasa menganjurkan kebersihan dan kesucian bagi umatnya, tidak ada agama sedetail ini mengajarkan hal-hal seperti ini, Oleh karena itu pribadi muslim yang sesungguhnya adalah pribadi yang selalu menebar kebersihan dan kesucian dari jiwanya, tapi yang lebih penting lagi adalah kebersihan dan kesucian hati. Karena dengannya jiwa akan dihinggapi aura kelembutan yang mendayu merdu, yang akhirnya bertemu dengan kelembutan sang khalik Allah SWT. Zahid Ilham.

Tidak ada komentar: