Selasa, 24 Februari 2009

RAMBU-RAMBU DARAH

Dunia dibangun dengan berpondasikan sakit dan derita, anggaplah kamu bisa terbebas dari penyakit apakah kamu mampu selamat dari kematian? Inilah filsafat hidup yang dikemukakan oleh Imam Hasan Al-Bashri, bahwa orang yang hidup di dunia harus mau mematuhi peraturan dunia yang merupakan peraturan alam yang tidak bisa dihindari.
Sebagaimana peraturan alam harus ditaati, maka orang yang bernegara harus mematuhi peraturan negara, dan orang yang beragama juga harus mematuhi peraturan agama. Di antara sekian peraturan agama yang harus ditaati, ada beberapa peraturan yang khusus diberlakukan untuk kaum hawa yaitu, sebelas larangan yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang haid dan nifas.
Yang pertama dan kedua adalah sholat dan thawaf, Dalam hadits yang diriwayat oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim Nabi SAW bersabda,
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Allah SWT tidak menerima sholat salah seorang diantara kalian jika berhadats sehingga dia berwudlu’
Jika Nabi SAW telah melarang orang yang berhadats kecil untuk melakukan sholat apalagi orang yang berhadats besar seperti haid dan nifas. Adapun thawaf, maka thawaf adalah ibadah yang sama dengan sholat dalam syarat-syarat sahnya. Nabi SAW bersabda,
الطَّوَافُ بِمَنْزِلَةِ الصَّلاَةِ إِلاَّ أَنَّ الله قَدْ أَحَلَّ فِيْهِ النُّطْقُ
Thawaf itu berkedudukan sama dengan sholat kecuali sesungguhnya Allah telah menghalalkan di dalamnya bicara
Dan di saat Rasulullah SAW berhaji bersama istri-istrinya di hajjatulwadaa’ Sayyidah A’isyah datang kepada beliau mengadukan menstruasi yang sedang dialaminya, maka Nabipun menjawab,
اصْنَعِيْ مَا يَصْنَعُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ
Lakukan apa yang dilakukan orang haji selain kamu jangan thawaf di ka’bah
Yang ketiga dan keempat adalah memegang dan menyentuh mushaf karena dalam Alqur’an Allah SWT menegaskan,
Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
Yang dimaksud adalah orang-orang yang suci dari hadats kecil dan besar. Jika menyentuh saja diharamkan bagaimana pula dengan membawanya sudah jelas diharamkan pula karena membawa lebih berat dari sekedar menyentuh.
Yang kelima adalah berdiam di masjid atau hanya sekedar mondar mandir di dalamnya, karena Nabi SAW melarang hal yang demikian sebagaimana beliau bersabda,
إِنِّي لاَ أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ لِجُنُبٍ
Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid untuk orang haid dan tidak pula untuk orang junub.
Yang keenam adalah membaca Alqur’an dengan niat tilawah yaitu niat memcari pahala dengan bacaan tersebut karena memang membaca Alqur’an walaupun Cuma sekedar membaca namun mendapat pahala dari Allah SWT. Tentunya dasar keharaman ini adalah larangan langsung dari Nabi SAW yang mensabdakan,
لاَ يَقْرَءُ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئاً مِنَ الْقُرْآنِ
Tidak boleh orang junub dan haid membaca sedikit dari alqur’an.
Syarat-syarat keharaman membaca alqur’an bagi orang yang sedang nifas maupun haid adalah: Pertama, membaca Alqur’an dengan niat tilawah saja atau bersama niat yang lain. Dengan demikian jika bacaan tersebut hanya untuk sekedar berdzikir, mengutarakan dalil di saat ceramah, mengutip cerita-cerita dalam Alqur’an, mengajar anak-anak TPQ atau untuk menjaga diri dari gangguan jin dan setan tanpa dia menyertakan sama sekali niat tilawah dalam tujuan-tujuan tadi, maka hukumnya tidak haram.
Kedua, ayat-ayat Alqur’an itu dia baca dengan melafadzkannya (mengeluarkan suara) yang sekiranya didengar oleh dirinya sendiri. Dengan demikian jika bacaan tersebut dia lakukan di hati tanpa menggerakkan lidah atau dengan menggerakkan lidah tapi tidak keluar suara, maka juga tidak haram hukumnya karena secara bahasa dia tidak disebut sebagai orang yang membaca. Dan ulama’ bersepakat atas diperbolehkannya membaca tasbih, tahlil dan dzikir yang lain.

Yang ketujuh adalah puasa. Wanita yang sedang nifas maupun yang sedang haid haram dan tidak sah melakukan puasa dengan dalil hadits Sayyidah A’isyah RA,
كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
Kami diperintahkan menqodlo’ puasa dan tidak diperintahkan menqodlo’ sholat.
Mereka mendapat perintah dari Nabi SAW untuk menqodlo’ puasa mereka, ini menunjukkan bahwa mereka tidak puasa ketika kedatangan nifas dan haid.
Yang kedelapan adalah cerai. Diharamkan atas suami untuk mencerai istrinya yang sedang nifas atau haid, hal dikarenakan hal itu akan menyusahkan istri dengan panjangnya masa iddah karena masa-masa keluarnya darah masuk hitungan iddah, juga karena Allah SWT telah menegaskan dalam Alqur’an,
Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).
Yang kesembilan adalah lewat di dalam masjid jika takut mengotori masjid. Sebernarnya hal ini tidak diharamkan khusus bagi orang yang sedang nifas maupun haid tetapi diharamkan untuk semua orang yang sedang membawa najis yang ditakkutkan akan mengotori masjid. Jika orang tersebut merasa aman bahwa kotoran yang dibawa tidak akan mengotori masjid maka hukum membawa kotoran tersebut makruh.
Yang kesepuluh adalah bersentuhan atau bersenang-senang dengan bagian antara lutut dan pusar. Para fuqaha bersepakat atas keharaman bersetubuh bagi wanita nifas dan haid karena dalam Alqur’an Allah SWT berfirman,
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Karena banyaknya hadits-hadits yang menerangkan tentang keharaman bersetubuh Imam Syafi’I RA berkata: Barang siapa yang melakukan hal itu berarti telah melakukan dosa besar. Selain bersetubuh haram juga bersentuhan dengan bagian antara lutut dan pusar, ketika Rasulullah SAW ditanya tentang apa halal antara seorang lelaki dengan istrinya Beliau SAW menjawab,
مَا فَوْقَ اْلإِزَارِ
Yang di atas sarung
Yang kesebelas adalah bersuci dengan niat beribadah karena orang yang sedang mengalami nifas selalu mengeluarkan darah dari kemaluannya sedangkan keluarnya sesuatu dari kemaluan itu menimbulkan hadats, jadi bagaimana mungkin seseorang mengangkat hadats sedangkan hadats itu sendiri selalu timbul. Oleh karena itu haram bagi orang nifas maupun haid melakukan wudlu’ ataupun mandi untuk mengangkat hadats besar maupun kecil padahal dia tahu bahwa itu tidak sah karena itu adalah mempermainkan ibadah.
Jika melanggar rambu-rambu lalu-lintas saja kita kena tilang, maka berhati-hatilah dengan surat tilang yang datang dari Allah SWT atas pelanggaran-pelanggaran yang kita lakukan, karena pengadilannya bukan di dunia melainkan di akhirat di hadapan seluruh makhluk yang pernah diciptakan Allah SWT. Kalau kita bisa menghindar dari pantauan polisi-polisi dunia apakah kita mampu menghindar dari pantauan polisi akherat? zahid

Tidak ada komentar: